Kamis, 05 Februari 2009

saat paling indah ketika aku membunuh nona manis




dan disini aku menunggunya, di bangku panjang sendiri. menghadap aliran sungai yang bening. menampilkan pantulan matahari yang cahayanya mulai meredup. banyangannya bergelombang ketika air-air sungai tertiup dinginnya angin di bulan november. pohon sakura yang tak jauh dari tempatku duduk nampak menyedihkan. tak ada kelopak-kelopak seperti saat bulan mei tiba, hanya beberapa daun yang rapuh jika angin melewati pucuk-pucuk cabangnya. hari mulai senja, langit menyuguhkan warna kuning segar, serta awan-awan yang berpendar manis.

aku tetap dalam posisiku, tak bergidik meski angin merutuk melewati pori-pori kulitku, menembus melewati kain yukata maroon yang menutupi tubuhku. aku merasa hangat, bukan karena kerah bulu putih yang melingkar di leherku, melainkan darah yang kurasakan mendidih melewati setiap pembuluh. ku lihat banyanganku di air. sempurna. rambut panjang ku biarkan tergerai, hitamnya menambah pekat yukata yang kukenakan. hanya motif-motif emasnya yang membuat elegan penampilanku dengan kulit coklat.

disini, di kota hokkaido yang dingin di bulan november. aku ingin menuntaskan semua, menghancurkan semua rasa sakit yang aku alami. jantungku berdegup kencang saat menanti semuanya berakhir. banyangan penghianatan itu terus mengejek, membentuk rentetan flim yang amat menjijikan. air mataku jatuh, mengingat betapa kotornya ketika aku mencintainya dan memberi semua untuknya. dan ia pergi dengan gadis impiannya.

dan gadis itu kini datang, mengantarkan sendiri nyawanya padaku. ku lihat siluetnya berjalan menuju pohon sakura yang menyedihkan. aku beranjak dari dudukku, kurasakan benda yang ku ikat di pinggangku terasa berat. panjang, terbalut dalam sarung kulit berwarna merah yang menghangatkannya sisi tajamnya, senada dengan yukata maroonku. ku genggam erat pegangannya yang berukir seekor griffin dari blood stone, batu berwarna merah darah, dan dua ruby sebagai matanya. kurasakan dingin yang mencuat dari blood stoneku.

nona cantik, begitu aku memanggilnya. cocok dengan apa yang ada pada dirinya, rambut pendek menggelung kedalam, kulitnya putih, seputih susu. lekuk tubuhnya pun terlihat begitu menonjol dari dalam yukata putih yang ia kenakan. sangat sempurna.

aku ingin melihatnya berakhir dengan anggun. sempurna, sesempurna hari ini. sesempurna sore ini. warna kuning langit telah menjadi ungu lembanyung. dan nona cantik nampak bersinar dibawahnya. ia terseyum penuh arti padaku, membuat seluruh darahku semakin mendidih.

disini kami, di bawah pohon sakura yang menyedihkan satu persatu daunnya jatuh tertiup angin. dingin, kutatap dia penuh kebencian, genggamanku semakin erat, dan kurasakan blood stoneku semakin berat.

tak ingin aku berlama-lama lagi, ku cabut sisi tajam blood stoneku, pipih, tajam, warna peraknya mengkilat disilaukan oleh sisa-sisa cahaya matahari yang mulai malas. ku menganyunkannya dengan cepat, dan saat itu pula aku merasakan pedangku meringan. darah memuncrat segar dari lengan kanan nona cantik. aku masi belum ingin ia berakhir cepat, aku ingin melihatnya perlahan menderita lalu tak berdaya. aku ingin dia merasakan terlebih dahulu perih yang kurasakan ketika ia mencium kekasihku. nona cantik mulai menangis, ia terduduk memegangi lengannya yang tersayat, cairan merah kental mengalir membasahi yukatanya, tak lagi putih.

angin bertambah kencang, mengibarkan sisi merah maroon dan putih. aku belum berhenti, jantungku berdegup lebih kencang, dan dingin-dingin lebih merutuk juga. ku hela napas panjang, mengayunkan kembali blood stoneku ke arah dada nona cantik, menggambar sebuah sayatan panjang merobek yukatanya. ia mengerang, menangis begitu kencang. namun ia tak melawan, seolah ia telah relakan nyawanya di ujung pedangku. ia tau ia akan berakhir.

sekali lagi, yukata nona cantik tak lagi putih, darah memberinya motif baru yang akan seirama bila di sandingkan dengan sarung pedangku yang berwarna merah. aku makin bringas, tapi sebaik mungkin aku coba untuk tenang, aku tak ingin terkesan membabi buta saat semua ni berakhir. aku ingin sempurna.

ku arahkan mara pedangku ke dagunya, kupaksakan nona cantik itu menatap mataku, mata malaikat pencabut nyawanya. ia mendongak, kulihat air mata membanjiri seluruh paras cantiknya, persetan dengan itu semua, ia tak pernah mengasihani aku saat ia mengambil kekasihku. ku turunkan mata pedangku yang basah karna darahnya. perlahan... melewati tenggorokannya, nona cantik bergidik, kurasakan ketakutan di setiap tetesan air matanya, namun aku tak berhenti ku lanjutkan penjelajahanku, bgitu pelan, memberinya waktu untuk sedikit berdoa, memohon satu tempat di neraka, atau membuatku tk jadi mengakhirinya. Bagaimana bisa nona cantik itu membuatku tak bernafsu lagi untuk tidak mengakhirinya? aku merasa blood stoneku bergetar, berat, ketika aku sampai di jantungnya aku bisa merasakan jantung nona cantik itu berdetak begitu kencang. Sama seperti jantungku. Kuturunkan blood stoneku, sisi tajamnya sangat kehausan aku ingin menutup dahaganya namun tidak secepat itu.


Aku berhenti di perut kanannya, tertutup obi yang begitu cantik, jahitannya sangat halus, bermotif merak yang sangat indah. Emosiku memuncak, meluap-luap di ujungnya. Nona cantik memandang mengiba, aku tak peduli, tak akan peduli sama seperti ketika ia tak peduli padaku saat itu. Kudorong blood stoneku, memberinya tekanan melalui obi yang mengikat pinggangnya, menembus kulit-kulit perutnya. Ia mengerang memohon. Tak ada ampun, emosiku sudah memuncak perlahan darah menyembur ke mana-mana, mengalir deras dari obinya yang robek karena mata pedangku. Ia menangis kesakitan, aku tersenyum, memberinya ucapan selamat tinggal, lalu kutancapkan tepat di ulu hatinya. Untuk terakhir kalinya ia berteriak, mengerang sangat kencang, bercampur dengan dinginnya angin yang tajam. Setajam perasanku saat ini kepadanya. Darah melumer lebih deras, membasahi yukatanya memberi tambahan warna merah di mana-mana. Cantik.

Kucabut blood stoneku tapi tak perlahan seperti kumenusukannya. ia semakinkencang berteriak, menahan sakit dengan air matanya. Ia terkulai lemas. Tangannya yang tak tersayat menutup perutnya yang belum berhenti mengeluarkan darah.

berakhir...

dia berhenti mengerang, tak lagi meneteskan air matanya. jantungku berhenti berdegup kencang. darahku tak lagi mendidih. matahari sudah habis sepenuhnya, berganti bulang dengan gelapnya malam dan dinginnya angin di bulan november.

semua sudah berakhir. tak ada lagi nona cantik.

1 komentar:

4eVer Friend mengatakan...

miris, asik , unik...
kisah fantastik,.... belajar nulis dimana girl???